AWAL Oktober lalu, film Ngeri-Ngeri Sedap yang disutradarai dan ditulis oleh komika berdarah Batak, Bene Dion Rajagukguk sudah bisa ditonton di Netflix. Film yang berhasil meraih rating 8,2 di IMDb sekaligus masuk dalam 5 kategori nominasi Festival Film Indonesia ini memang sangat dinanti.
Film ini menceritakan tentang keluarga Batak, yakni Pak Domu (Arswendy Nasution) dan Mak Domu (Tika Panggabean) yang memiliki empat anak. Ketiga anak laki-laki Pak Domu yakni, Domu (Boris Bokir), Gabe (Lolox), dan Sahat (Indra Jegel) pergi merantau sejak kuliah. Dari sanalah konflik anak-orang tua satu per satu muncul.
Layak dijadikan refleksi bagi setiap orang tua dan anak, inilah sejumlah pembelajaran yang bisa kita dapat dari Ngeri-Ngeri Sedap.
1. Anak punya pilihan sendiri
Dikisahkan terdapat pertentangan pandangan antara Pak Domu dan ketiga anak laki-lakinya yakni Domu, Gabe, dan Sahat.
Mulai dari menentang hubungan Domu yang hendak menikahi Neny, gadis berdarah Sunda, menentang pekerjaan Gabe sebagai pelawak, hingga menginginkan Sahat sebagai anak terakhir kembali ke rumah sesuai tradisi Batak.
Kita seolah diajak berefleksi tentang apakah orang tua berhak mengatur masa depan anak? Karena tak jarang orang tua menuai respons kontradiktif dari anak.
Di sinilah dibutuhkan komunikasi yang sehat dan terbuka agar orang tua dapat menghargai keputusan anak dan anak pun menghormati keinginan orang tua.
2. Pentingnya saling berbagi cerita antarlelaki
Dalam film Ngeri-Ngeri Sedap, Pak Domu tidak pernah bicara langsung dengan ketiga anak lelakinya melalui telepon. Segala pesan dan keluh kesah Pak Domu pada anak-anaknya disampaikan oleh Mak Domu.
Ketika ketiga anaknya pulang ke rumah pun sikap Pak Domu kaku dan dingin. Ketiga anak laki-lakinya pun merasa canggung dan tidak nyaman. Sedangkan hubungan Pak Domu dan Sarma penuh perhatian.
Di sini tampak hubungan antara anggota keluarga laki-laki sangat berjarak dan tegang. Dari sini kita belajar bahwa antarlaki-laki apalagi statusnya Ayah dan anak perlu membangun komunikasi yang hangat.
Berbagi cerita dan perasaan antar laki-laki bukanlah dosa, justru dapat menurunkan tensi ketegangan.
Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh California State University, laki-laki yang memiliki hubungan masa kecil yang positif dengan ayahnya lebih mampu menangani stres dan tekanan emosional di kemudian hari.
3. Belajar bahwa orang tua tidak selalu benar
Sebuah nasihat penuh hikmah hadir dalam film ini. “Kalau anak berkembang, orang tua pun harus berkembang. Jadi orang tua itu tidak ada tamatnya, harus belajar terus.”
Memang kita sebagai orang tua meniru apa yang dilakukan generasi sebelumnya. Namun, dinamika kehidupan berubah, anak-anak juga tumbuh dan berkembang di zaman yang berbeda. Hal yang perlu dilakukan oleh orang tua adalah belajar dan belajar.
Najeela Shihab dalam buku Keluarga Kita, Mencintai dengan Lebih Baik menjelaskan bahwa salah satu yang paling sulit dari menjadi orangtua adalah belajar memahami bahwa tidak semua hal dapat dikendalikan.
4. Perempuan butuh didengar dan diberi ruang bicara
Sarma dan Mak Domu adalah sosok perempuan sentral dalam film ini. Sebagai anak perempuan, Sarma tidak diwajibkan untuk merantau. Tapi, siapa sangka, atas nama bakti dan adat istiadat, Sarma rela melepaskan mimpinya.
Di sisi lain, Mak Domu sering berselisih pendapat dengan Pak Domu. Namun, Mak Domu selalu dituntut Pak Domu untuk “nurut saja.” Nilai-nilai patriarki yang mengakar di keluarga ini membuat Mak Domu dan Sarma lebih banyak diam daripada melawan.
Dari sini kita bisa belajar pentingnya memberikan ruang bagi perempuan untuk bersuara dan berkarya. Anak perempuan punya hak setara dengan laki-laki untuk mewujudkan mimpi, bukan mengalah mengubur mimpi.
KOMENTAR ANDA